Rabu, 02 Mei 2012
Rahasia!: We are so busy Growing Up, we often forget they ar...
Rahasia!: We are so busy Growing Up, we often forget they ar...: Mereka yang dulunya aktif mengikuti langkah kita kemana saja ketika kita enggan makan, mencari kita ketika kita sedang bermain di ruma...
We are so busy Growing Up, we often forget they are also Growing Old
Mereka yang
dulunya aktif mengikuti langkah kita ketika kita enggan makan, mencari kita
ketika kita sedang bermain di rumah tetangga, menggendong kita ketika kita
terjatuh dari sepeda, mencium dengan hangatnya ketika kita hendak terlelap,
menyuapi kita setiap harinya, mencubit kita ketika kita melukai teman, sadarlah
bahwa sekarang semua telah berbeda. Akankah mereka masih kuat untuk menggendong
kita? Masihkah mampu mengejar langkah kita? Dan masih pantaskah kita dicubit
karena tingkah nakal kita?
Ingin kembali ke
masa itu, bukan hanya untuk merasakan kembali bagaimana kita dimanja setiap
detiknya tapi lebih kepada kita ingin mengucapkan “Terima Kasih Ayah Ibu!”
setiap kali kita digendong ketika kita jatuh, disuap saat kita lapar dan
dimandikan setelah kita bermain bahkan ketika kita dicubit ketika kita nakal. Seperti
menyesali setiap langkah kaki yang ada, tanpa rasa bersyukur dan terima kasih
kepada 2 orang yang sangat berjasa ini. Keringat, uang, darah, bahkan separuh
hidupnya mereka pertaruhkan untuk kita. Dimana hati nurani ini ketika mereka
dengan sibuknya memikirkan masa depan kita tetapi kita mengabaikan langkah kaki
mereka yang semakin hari semakin melambat, tubuh dan raga mereka yang semakin
membungkuk dan seluruh kulitnya mulai keriput.
Tidak ada kata
terlambat untuk mengucapkan terima kasih dan maaf untuk semua khilaf kita
kepada mereka, bayangkanlah mereka yang sudah kehilangan waktunya. Sisakan
sedikit waktumu untuk mengucapkan terima kasih dan selamat tidur kepada mereka
ketika mereka hendak tidur dan selamat pagi ketika mereka bangun. Sepele
mungkin, tapi lebih sepadan daripada harta yang kita banggakan tapi tak
membahagiakan. Mereka hanya akan bahagia apabila kita masih menghormati dan
menghargai mereka selayaknya seorang yang telah memberikan ‘hidup’ kepadamu.
Bukan dengan seberapa banyaknya harta yang kamu miliki dan bukan dengan
seberapa tingginya jabatan yang kamu duduki tetapi dengan sedikit saja waktumu
untuk dengan tulus menemani dan berterima kasih di sisa hidup mereka yang
singkat ini.
Selasa, 01 Mei 2012
Story of My (damn) Life
Entah pagi entah
malam entah siang entah sore, lebih tepatnya saya belum menanyakannya kepada ‘mereka’
yang ada pada saat itu kapan tepatnya saya lahir. Susah memang jika diceritakan
kronologisnya, bukan cuma saya yang seperti itu ternyata kakak saya juga
demikian. Tapi saya percaya tidak ada yang disembunyikan, dan yang jelas saya
bukan anak pungut (jangan khawatir itu). Ini lebih tepatnya juga karena saya
belum memiliki kemampuan otak yang bagus untuk mengingat (dan sepertinya anda
juga), jadi mungkin yang dapat saya ceritakan nanti menurut ‘katanya’.
Lahir pada
tanggal 12 Juli 1993 dengan kondisi badan yang menurut saya dan saya percaya
sempurna (walau kadang lupa akan kata bersyukur). ‘Katanya’ saya dilahirkan di
rumah saya di Maulafa Kupang-NTT. Tidak ada suster, dokter, obat-obat yang
lengkap dan yang paling parah ‘katanya’ Ayah saya pun tidak ada pada waktu itu.
Yahh, kurang penting juga semenit waktu berharga saya menikmati pertama kali
melihat segala sesuatu berwarna, segala sesuatu berbeda dengan yang ada di
perut ibu saya tanpa kehadirannya, yang terpenting belasan tahun saya hidup dan
gila dia selalu mengakui bahwa saya salah satu dari anaknya. ‘Katanya’ pada
waktu itu ibu saya sedang ‘ngambek’ kepada ayah saya, sehingga ketika diajak ke
RS ia menolak. Sampai pada waktunya saya berontak (mungkin mau ‘pup’) dan ingin
‘keluar’ pun ibu saya menolak untuk dibawa ke RS. Alhasil dengan sedikit
menyusahkan orang lain saya dilahirkan di kamar paling depan di rumah Oma saya
(pada waktu itu kami belum memiliki rumah sendiri) dengan bantuan dari Oma Besa
(RIP), kakak dari Oma saya.
Mungkin hal
inilah yang saya percayai mempengahuhi pribadi dan sifat saya yang ‘anak
rumahan’ (hhhmmm), ya percaya tidak percaya mungkin lebih banyak yang tidak
percaya tapi memang ketika saya SMP dan pertengahan SMA saya hampir jarang
sekali keluar rumah dan lebih tepatnya keluar dari kamar (pada siang hari)
hahaha… Kebiasaan saya untuk menikmati dan menyusuri jalanan pada malam hari
mungkin baru terasa ketika saya beranjak SMA (jarang) dan pada saat sekarang
(sangat sering). Dan sifat saya yang keras kepala seperti ibu saya ketika
dipaksa ke RS, dan sangat menyusahkan orang lain seperti hasilnya ketika saya
harus dilahirkan di rumah tanpa peralatan yang lengkap. Yang nampak memang dan
lebih mencolok dari saya adalah hal yang ‘negatif’ sampai sekarang pun
(apalagi) saya merasakan hal ini enggan sekali menjauh dari saya. Yes, so hard
to change the judge!
Menyusui,
mengisap jari, merangkak, tidur seranjang dengan ayah dan ibu, pipis di celana,
pup di celana, digendong, dimanja, dicium setiap harinya dan kepolosan sedang ‘berjaya’
benar-benar masa yang paling indah dan kalau dikasih ingin sekali kembali ke
masa itu. Dimana setiap orang disekeliling saya menyayangi dengan hangatnya dan
segala sesuatu yang diingat adalah tingkah polos dan lucu saya layaknya bayi
pada umumnya. Ketika yang lain mengatakan “hey, sudah lihat bayinya ibu dan
bapak Haba belum?” seorang yang lain dapat menjawab “Ooya, lucu sekali anaknya!”
bukan “Oh really? That bitch?!”. TIDAK! yang diingat adalah
tingkah lucu yang ada pada umumnya dan mungkin sedikit karakteristik dari saya
keriting dan (sedikit) pesek. Bukan pada saat saya sudah mulai berjalan, naik
sepeda menabrak pagar tetangga, memanjat pohon, terkadang menyakiti teman-teman
saya yang lain, dan ketika ditanya nama saya sudah mampu menjawab “Ya, nama
saya Lydia” bukan lagi anak dari bapak dan ibu Haba. Dari sinilah hidup mulai
diukir dan diwarnai sendiri. Sehingga ‘the judging’ started to happen. Tidak ada
yang perlu disalahkan, bayi dilahirkan memang dengan pola asuh yang berbeda
sehingga ketika seseorang tumbuh dewasa dan menjadi seperti ‘bitchy’ yang kerap
disalahkan adalah orang tuanya, tapi kembali lagi apakah yang menjalani dan
menentukan langkah kita adalah mereka? bukannya kita sendiri? bukankah kita
sering menipu dan tidak meruti perintah orang tua demi mengikuti keinginan dan
harapan kita sendiri? inilah yang membedakan.
But, Isn’t life
like a paper? when we born that is so clean and we couldn’t to paint it! Dan
sampai saatnya kita mampu mewarnainya sendiri
dan mengotorinya sendiri, bukannya itu adalah prosesnya? Jika salah ada
penghapus untuk menghapusnya tapi bercak hitam dan warna sebelumnya tetap masih akan membekas. Tergantung kepandaian
kita untuk menutupinya dan membuatnya lebih indah. This is the real life! I wouldn’t
to be regret, life is full of shit but it still must go on. This is process and
I’m so love every spell time in my life.
Langganan:
Postingan (Atom)