Menjelang pagi,
Adit menyusuri jalanan gelap sepi sekitaran hampir jam 3 pagi sendirian.
Baginya, ini rutinitasnya. Berkumpul dengan teman-teman bercerita hingga pagi
menjelang dan kemudian pulang. Sah-sah saja pikirnya, remaja, dan mudalah
waktunya.
Entah kenapa
subuh itu jalanan kota Jogja terasa dingin menusuk hingga ke tulangnya. Padahal
ini bukan hanya kesekian kalinya ia begini tetapi seakan ‘jatah makannya’
setiap hari sudah pasti begini. “Ah sial! Lupa bawa jaket.” Gumamnya yang
seperti teriakan di sana saking sepinya jalanan menuju rumahnya.
“Ibu sudah
bilang, mau panas mau dingin kalo kemana-mana pake jaket!” tiba-tiba celotehan
Ibunya bersenandung di telinga, jelas. Seperti dekat, bahkan seperti ibunya
sedang berboncengan dengannya di belakang. Wajah ibunya ketika marah karena
kebiasaannya pulang subuh, dan berkumpul bersama teman-temannya tampak begitu
jelas di depan mata.
“Dari mana saja
kamu? Hidup cuma buat hal yang nggak jelas! Mau jadi apa kamu?!” sesosok pria
tinggi yang berwajah tak asing baginya tampak sedang menghujamnya dari depan.
Ayah!
“Benar kata
ayah, tapi jika sepanjang waktuku terbuang untuk penyesalanmu, bantu aku merubahnya!” Gumam Adit pelan, setitik air mata jatuh dan mengering
di dadanya, sejalan dengan pekatnya dingin yang berlawanan arah dengan laju
motornya.
Bayang-bayang
itu tiba-tiba datang dan menemaninya berjalan kembali pulang ke rumah. Seakan
membawa dan menuntunnya berjalan. Lantunan suara ayah dan ibu manis pahit
terasa jelas membisingkan telinganya. Lamunan indah yang sejenak datang
menghampiri dan diam-diam mengingatkan semua tentang kedua orang tuanya.
“Terima kasih
ayah dan ibu, kalian begitu sabar.” Seakan ingin berlari kembali, maaf itu
belum terlambat untuk diucap, nalarnya. Sambil terus membayang entah rasa
bersalah atau rasa rindu yang dalam akan pelukan orang tuanya yang sekejap dua
menit menguasai isi pikirannya. Jalanan seperti sempit dan kabur di depan
matanya, yang terlihat hanya dua sosok indah yang pernah ada dalam hidupnya,
ibu dan ayah.
******
Matanya yang
sembab dan badannya yang lemas tiba-tiba tersadar oleh suara bising yang
akhirnya membangunkannya dari lamunan panjang itu. Sakit dan perih sentak
menggerogoti hampir seluruh badannya.
“Aku dimana?”
Tanya Adit pada seorang lelaki berbaju putih yang tampak sedang ‘ngos-ngosan’
mendorongnya dengan tempat tidur.
“Kamu di rumah
sakit, tadi kamu kecelakaan!” jawabnya.
Adit menatap
seluruh badannya yang penuh cairan berwarna merah entah apa. Belum sepenuhya
sadar dari lamunannya tadi, ia mencoba menggapai-gapai apa yang terjadi padanya
tadi saat ia tertidur. Seingatnya hanya ada dua wajah yang menemaninya pulang
ke rumah. Ternyata tidak. Dia sendiri.
Nafasnya
terasa enggan berhembus kembali. Darah seperti dipaksa untuk mengalir. Sakit.
“Mana ayah?
Mana ibu?” gumamnya gemetaran.
Meratapi
sekeliling dinding putih bersih di sini, Mereka bahkan seperti hanya meletakkan
Adit di tempat yang empuk, intinya bukan aspal. Hanya beberapa orang yang
tampak mengobati lukanya, tanpa berpikir dia tak hanya sakit di sana. Semua
pria wanita berbaju putih itu datang dan pergi tanpa menghiraukan
pertanyaannya, tapi jawaban itu jelas ada. Orang tuanya juga tidak ada.
Seorang wanita
setengah baya tiba-tiba merangkul tanganku.
“Ada apa nak?
Kamu akan baik-baik saja.” Ujarnya sambil tersenyum kearahku. Wanita seperti
ibunya dari bilik yang lain, ia tampak sedang menemani putrinya yang juga
terbaring di tempat tidur yang berbeda.
“Apa ibu bisa
menelfon ayah dan ibuku? Mungkin mereka belum tahu kenapa aku belum pulang.”
Ujarnya seakan menantang detak jatungnya yang seakan lemah untuk berbicara.
“Tentu saja.”
Wanita itu kemudian mengambil handphone Adit yang diletakkan di samping
kepalanya, dan segera memencet kontak ibunya berharap mereka segera datang
untuk sekedar menemani anaknya yang
sendiri di ruangan itu.
******
Di tempat yang
berbeda, di tengah lelapnya tidur, ayah dan ibu Adit tersentak bangun dengan
bunyi panggilan dari handphone ibu Adit. Ibunya dengan segera mengangkat
teleponnya yang dilihatnya dari anaknya tersebut.
“Hallo dit.”
Sepenggal kata menyapa anaknya dengan hangat tanpa dengan rasa takut yang
bergejolak heran mengapa anaknya meneleponnya di pagi buta.
“Hallo bu. Apa
benar ini orang tua dari anak Adit? Adit tadi kecelakaan dan sekarang dirawat
di RS Panti Rapih, bu. Apa ibu bisa segera kesini?” suara seorang wanita dari
kejauhan.
Ibu Adit menarik
nafas sejenak, mencoba menghembuskan nafasnya kembali yang tersentak seperti
berhenti mendengar anak satu-satunya kecelakaan.
“Oh iya bu,
bisa. Terima kasih atas infonya, saya akan segera kesana.” Jawabnya dengan
terengah-engah. Ia segera membangunkan suaminya.
“Pa, bangun! Adit
kecelakaan.”
“Ah, ini bukan
yang pertama kalinya ia begini. Sudah berulang kali ia menyusahkan kita seperti
ini. Entah siapa lagi yang dia celakai sekarang. Nanti saja kita kesana, ini
masih sangat subuh.” Jawab ayah Adit yang geram. Tidak salah, karena telah
berulang kali Adit mengalami hal seperti ini. Bagaikan setiap hari mendapatkan sentakan
setrum listrik, mungkin ayah Adit sudah cukup ‘kebal’ dengan berita mengagetkan
seperti ini. Ia pun melanjutkan tidurnya tanpa memperdulikan istrinya yang
kebingungan serta ketakutan mengingat anaknya yang tak tahu keadaannya seperti
apa sekarang.
“Tapi pa, dia
anak kita satu-satunya. Apapun yang ia lakukan, buruk atau baik yang ia
hasilkan, kita seharusnya berada di sana mendukungnya. Terserah, Papa mau
memukul atau memaki dia atas apa yang dilakukannya, tapi jangan pernah
meninggalkannya sendiri.”
“Aku capek,
aku malu.” Balas ayah Adit terbata-bata sambil mengusapkan cairan entah apa
yang tiba-tiba keluar dan membasahi pipinya.
“Kenapa kita
selalu berpikir ini semua salahnya? Apa kita sebagai orang tua juga benar
mendidiknya? Bahkan saat ini pun dia sedang kesusahan, kita yang seharusnya di
sana tidak ada. Bahkan untuk anak kita satu-satunya kita masih berpikir tentang
ego, perasaan, bahkan nama baik kita. Tolong jangan menganggap itu anakku
sendiri, pa. Dia anakmu juga. Kamu tidak tahu betapa cinta dan bangganya dia
kepadamu, karena kamu tidak pernah mempedulikannya. Dia yang akan membantumu,
mengasihimu, menjagamu selain aku bahkan jika aku tak ada.”
Ayah Adit
memeluk istrinya dengan erat, merasa berdosa akan apa yang dipikirnya selama
ini. Mereka pun bergegas menuju ke Rumah Sakit dimana Adit dirawat.
******
Di tempat yang
berbeda Adit sedang membayangkan ibu yang membantunya menelepon kedua orang
tuanya tadi adalah ayah dan ibunya yang sedang menggenggam tangannya, dan
seperti menguatkan dirinya sendiri, ia membayangkan kedua orang tuanya
memintanya bertahan dan hidup lebih lama. Maaf, terima kasih, pengalaman,
cerita, belum banyak bahkan belum sempat terucap olehnya. Banyak kata terlambat
serasa membayangi otaknya kini. Ia seperti meminta hanya beberapa detik untuk
sekedar melihat kedua orang tuanya.
Kedua orang
tua Adit sampai di ruangan tersebut dengan kebingungan, kaget, sedih, dan
seperti tidak tahu harus berbuat apa. Jauh dari bayangan mereka sebelumnya
tentang apa yang terjadi.
Terlambat.
Tuhan
membawanya pergi. Untuk hidupnya dan hidup orang lain menjadi lebih baik.
YK, 10 September 2013