Calm Down and Be Classy, Girl! ☺

Selasa, 26 November 2013

Tidak Selalu Harus Ada Terang Agar Mudah Dilihat ~



Menjelang pagi, Adit menyusuri jalanan gelap sepi sekitaran hampir jam 3 pagi sendirian. Baginya, ini rutinitasnya. Berkumpul dengan teman-teman bercerita hingga pagi menjelang dan kemudian pulang. Sah-sah saja pikirnya, remaja, dan mudalah waktunya.
Entah kenapa subuh itu jalanan kota Jogja terasa dingin menusuk hingga ke tulangnya. Padahal ini bukan hanya kesekian kalinya ia begini tetapi seakan ‘jatah makannya’ setiap hari sudah pasti begini. “Ah sial! Lupa bawa jaket.” Gumamnya yang seperti teriakan di sana saking sepinya jalanan menuju rumahnya.
“Ibu sudah bilang, mau panas mau dingin kalo kemana-mana pake jaket!” tiba-tiba celotehan Ibunya bersenandung di telinga, jelas. Seperti dekat, bahkan seperti ibunya sedang berboncengan dengannya di belakang. Wajah ibunya ketika marah karena kebiasaannya pulang subuh, dan berkumpul bersama teman-temannya tampak begitu jelas di depan mata.
“Dari mana saja kamu? Hidup cuma buat hal yang nggak jelas! Mau jadi apa kamu?!” sesosok pria tinggi yang berwajah tak asing baginya tampak sedang menghujamnya dari depan. Ayah!
“Benar kata ayah, tapi jika sepanjang waktuku terbuang untuk penyesalanmu, bantu aku merubahnya!” Gumam Adit pelan, setitik air mata jatuh dan mengering di dadanya, sejalan dengan pekatnya dingin yang berlawanan arah dengan laju motornya.
Bayang-bayang itu tiba-tiba datang dan menemaninya berjalan kembali pulang ke rumah. Seakan membawa dan menuntunnya berjalan. Lantunan suara ayah dan ibu manis pahit terasa jelas membisingkan telinganya. Lamunan indah yang sejenak datang menghampiri dan diam-diam mengingatkan semua tentang kedua orang tuanya.
“Terima kasih ayah dan ibu, kalian begitu sabar.” Seakan ingin berlari kembali, maaf itu belum terlambat untuk diucap, nalarnya. Sambil terus membayang entah rasa bersalah atau rasa rindu yang dalam akan pelukan orang tuanya yang sekejap dua menit menguasai isi pikirannya. Jalanan seperti sempit dan kabur di depan matanya, yang terlihat hanya dua sosok indah yang pernah ada dalam hidupnya, ibu dan ayah.

******

Matanya yang sembab dan badannya yang lemas tiba-tiba tersadar oleh suara bising yang akhirnya membangunkannya dari lamunan panjang itu. Sakit dan perih sentak menggerogoti hampir seluruh badannya.
“Aku dimana?” Tanya Adit pada seorang lelaki berbaju putih yang tampak sedang ‘ngos-ngosan’ mendorongnya dengan tempat tidur.
“Kamu di rumah sakit, tadi kamu kecelakaan!” jawabnya.
Adit menatap seluruh badannya yang penuh cairan berwarna merah entah apa. Belum sepenuhya sadar dari lamunannya tadi, ia mencoba menggapai-gapai apa yang terjadi padanya tadi saat ia tertidur. Seingatnya hanya ada dua wajah yang menemaninya pulang ke rumah. Ternyata tidak. Dia sendiri.
Nafasnya terasa enggan berhembus kembali. Darah seperti dipaksa untuk mengalir. Sakit.
“Mana ayah? Mana ibu?” gumamnya gemetaran.
Meratapi sekeliling dinding putih bersih di sini, Mereka bahkan seperti hanya meletakkan Adit di tempat yang empuk, intinya bukan aspal. Hanya beberapa orang yang tampak mengobati lukanya, tanpa berpikir dia tak hanya sakit di sana. Semua pria wanita berbaju putih itu datang dan pergi tanpa menghiraukan pertanyaannya, tapi jawaban itu jelas ada. Orang tuanya juga tidak ada.
Seorang wanita setengah baya tiba-tiba merangkul tanganku.
“Ada apa nak? Kamu akan baik-baik saja.” Ujarnya sambil tersenyum kearahku. Wanita seperti ibunya dari bilik yang lain, ia tampak sedang menemani putrinya yang juga terbaring di tempat tidur yang berbeda.
“Apa ibu bisa menelfon ayah dan ibuku? Mungkin mereka belum tahu kenapa aku belum pulang.” Ujarnya seakan menantang detak jatungnya yang seakan lemah untuk berbicara.
“Tentu saja.” Wanita itu kemudian mengambil handphone Adit yang diletakkan di samping kepalanya, dan segera memencet kontak ibunya berharap mereka segera datang untuk sekedar menemani anaknya  yang sendiri di ruangan itu.
******
Di tempat yang berbeda, di tengah lelapnya tidur, ayah dan ibu Adit tersentak bangun dengan bunyi panggilan dari handphone ibu Adit. Ibunya dengan segera mengangkat teleponnya yang dilihatnya dari anaknya tersebut.
“Hallo dit.” Sepenggal kata menyapa anaknya dengan hangat tanpa dengan rasa takut yang bergejolak heran mengapa anaknya meneleponnya di pagi buta.
“Hallo bu. Apa benar ini orang tua dari anak Adit? Adit tadi kecelakaan dan sekarang dirawat di RS Panti Rapih, bu. Apa ibu bisa segera kesini?” suara seorang wanita dari kejauhan.
Ibu Adit menarik nafas sejenak, mencoba menghembuskan nafasnya kembali yang tersentak seperti berhenti mendengar anak satu-satunya kecelakaan.
“Oh iya bu, bisa. Terima kasih atas infonya, saya akan segera kesana.” Jawabnya dengan terengah-engah. Ia segera membangunkan suaminya.
“Pa, bangun! Adit kecelakaan.”
“Ah, ini bukan yang pertama kalinya ia begini. Sudah berulang kali ia menyusahkan kita seperti ini. Entah siapa lagi yang dia celakai sekarang. Nanti saja kita kesana, ini masih sangat subuh.” Jawab ayah Adit yang geram. Tidak salah, karena telah berulang kali Adit mengalami hal seperti ini. Bagaikan setiap hari mendapatkan sentakan setrum listrik, mungkin ayah Adit sudah cukup ‘kebal’ dengan berita mengagetkan seperti ini. Ia pun melanjutkan tidurnya tanpa memperdulikan istrinya yang kebingungan serta ketakutan mengingat anaknya yang tak tahu keadaannya seperti apa sekarang.
“Tapi pa, dia anak kita satu-satunya. Apapun yang ia lakukan, buruk atau baik yang ia hasilkan, kita seharusnya berada di sana mendukungnya. Terserah, Papa mau memukul atau memaki dia atas apa yang dilakukannya, tapi jangan pernah meninggalkannya sendiri.”
“Aku capek, aku malu.” Balas ayah Adit terbata-bata sambil mengusapkan cairan entah apa yang tiba-tiba keluar dan membasahi pipinya.
“Kenapa kita selalu berpikir ini semua salahnya? Apa kita sebagai orang tua juga benar mendidiknya? Bahkan saat ini pun dia sedang kesusahan, kita yang seharusnya di sana tidak ada. Bahkan untuk anak kita satu-satunya kita masih berpikir tentang ego, perasaan, bahkan nama baik kita. Tolong jangan menganggap itu anakku sendiri, pa. Dia anakmu juga. Kamu tidak tahu betapa cinta dan bangganya dia kepadamu, karena kamu tidak pernah mempedulikannya. Dia yang akan membantumu, mengasihimu, menjagamu selain aku bahkan jika aku tak ada.”
Ayah Adit memeluk istrinya dengan erat, merasa berdosa akan apa yang dipikirnya selama ini. Mereka pun bergegas menuju ke Rumah Sakit dimana Adit dirawat.
******
Di tempat yang berbeda Adit sedang membayangkan ibu yang membantunya menelepon kedua orang tuanya tadi adalah ayah dan ibunya yang sedang menggenggam tangannya, dan seperti menguatkan dirinya sendiri, ia membayangkan kedua orang tuanya memintanya bertahan dan hidup lebih lama. Maaf, terima kasih, pengalaman, cerita, belum banyak bahkan belum sempat terucap olehnya. Banyak kata terlambat serasa membayangi otaknya kini. Ia seperti meminta hanya beberapa detik untuk sekedar melihat kedua orang tuanya.
Kedua orang tua Adit sampai di ruangan tersebut dengan kebingungan, kaget, sedih, dan seperti tidak tahu harus berbuat apa. Jauh dari bayangan mereka sebelumnya tentang apa yang terjadi.
Terlambat.
Tuhan membawanya pergi. Untuk hidupnya dan hidup orang lain menjadi lebih baik.

YK, 10 September 2013

Tidak ada komentar:

Menurut Anda: