“Aku sayang
kamu.” Terasa begitu hangat ketika Adit memelukku dan seketika kata-kata itu
melemahkanku. Bukan karena aku seorang wanita yang lemah tapi apa dayaku ketika
seseorang yang sangat aku cintai mengatakan hal itu dengan tatapan yang tampak
begitu jujur bagiku, tak peduli entah ia sayang ataupun tidak aku akan tetap
mencintainya. Pelukkannya begitu hangat terasa, ciuman dan setuhannya membuatku
semakin tak berdaya. Aku ingin memaki diriku sendiri yang begitu gampang
tersentuh dengan sepenggal kalimat yang mungkin terasa biasa, mengapa ini
begitu rumit untukku tapi terasa gampang olehnya? aku memikirkan segala bentuk
penyesalan pada nantinya karena kelemahanku dan mungkin kesalahan kami tapi
Adit merasa hal ini sangat sepele. Aku takut! Tapi dengan sepenggal kata yang
diucapkan Adit dengan hangat, “Aku akan tetap mencintaimu, tak peduli apapun
yang akan terjadi padamu nanti” membuatku menjadi wanita paling berani dan
beruntung yang pernah ada di dunia ini.
******
“Non Dea,
bangun non… Udah jam stngah 7…” Suara halus bi Wati membuatku terbangun dari
tidurku.
“Mama Papa
dimana bi? udah berangkat ya?” Jawabku kepada bi Wati.
“Udah non,
Bapak Ibu gak sempat pamit, katanya buru-buru. Ini tadi Ibu titipin ini buat
non.” Kata bi Wati sambil memberikan secarik kertas pink kepadaku.
‘Dea sayang, mama papa gak sempat pamit. Dea
baik-baik ya, nanti mama bawain oleh-oleh! kiss hug Dear’. Begitu isi
secarik kertas pink itu, lagi-lagi aku ditinggal pergi mereka keluar kota.
Mereka terlalu sibuk dengan urusan mereka, tapi aku sadar bahwa yang mereka
lakukan dan kerjakan sepenuhnya untukku juga, tapi apa gunanya kalau setiap
langkah dan perubahan kecil dalam hidupku, mereka tak tahu. Kadang aku sangat
iri kepada mereka yang hidup sederhana tetapi memiliki begitu banyak waktu
berkumpul bersama orang tuanya, sedangkan aku bahkan makan pun sangat jarang
sekali bersama mereka. Bi Wati kadang yang lebih menyadari dan mengerti akan
setiap perkembangan dan perubahan dalam diriku dan setia menemaniku saat aku
benar-benar butuh sosok orang tua dalam hidupku.
“Non, mandi
dulu. Pakaiannya udah bibi siapin” kata bi Wati sambil memberikan handuk dan
seragam kepadaku. Inilah yang ia lakukan
selama 17 tahun aku hidup, dialah yang setia menggantikan posisi kedua orang
tuaku yang selalu sibuk dengan pekerjaannya. Marah selalu ada dalam benakku,
tetapi tak apalah, aku tetap bangga dan merasa sangat beruntung memiliki orang
tua pekerja keras seperti mereka.
Terasa dingin
saat percikan air menyentuh tubuhku, terngiang-ngiang kembali kata-kata Adit.
Begitu dalam, tetapi penuh dengan tanda Tanya apakah ia benar-benar serius? dan
apakah aku tidak salah dalam mengambil keputusan dengan begitu banyak pandangan
negative orang-orang terhadapnya, tetapi rasa percayaku lebih besar daripada
apa yang kudengar. Aku percaya dengan hatiku. Tidak peduli mungkin iya atau
tidak ia menipuku.
******
“Deaaaa!!!”
teriak Ana dan Nia sahabat karibku ketika aku memasuki pintu gerbang sekolah.
“Ada gossip
baru!” bisik Nia kepadaku. Inilah kebiasaan mereka yaitu membicarakan keburukan
dan kekurangan orang lain, kebiasaan SMA memang. Tapi bagiku ini sangat tidak
berguna dan tidak penting sama sekali, kadang aku hanya mendengar tanpa rasa
penasaran sedikit pun.
“Kamu tau gak
de? Si sasha anak bahasa yang sok alim itu hamil!” Balas Ana dengan penuh
semangat.
“Udahlah
biarin aja…” balasku singkat sambil berjalan menuju kelas.
Mereka
menatapku dengan kesal, inilah yang biasa aku lakukan dan itulah yang biasa
mereka dapati ketika mereka mulai membicarakan ‘gosip sekolah’ kepadaku. Tidak
berminat sama sekali. Aku, Nia dan Ana sudah bersahabat sejak kami SD, orang
tua kami saling kenal sehingga kami selalu ditempatkan di sekolah yang sama.
Kami bersahabat, bermain bersama, dan aku selalu berusaha ada ketika mereka
butuh. Tetapi banyak hal yang sering membedakan aku dengan mereka, salah
satunya kebiasaan mereka yang sangat senang membicarakan orang lain. Menurutku
itu hanya tampak seperti orang bodoh, dan well dalam hal ini kami sangat
berbeda.
“Eh de, si
Adit kayanya udah lama banget gak nganter jemput kamu ke sekolah?” bisik Ana
dari kursi belakang sambil melirik guru biologi kami yang galak, mencegah agar
kami tidak ditegur karena membuat keributan di kelas.
Aku berpikir
sejenak, benar kata Ana memang sudah hampir seminggu aku tidak bertemu Adit
lagi, kami hanya berkomunikasi lewat handphone. Tetapi yang aku tahu dan yang
memang dia katakan dia sedang sibuk dengan pertandingan basket antar sekolahnya
untuk beberapa minggu ini.
“ho’o dee!
Selingkuh kali dia!” Sambung Nia menyadarkanku dari lamunanku. Disambung gelak
tawa mereka berdua dari belakang.
“DEA, NIA,
ANA!” teriakan pak Joni guru biologi mengagetkan kami. Dan seketika membuat Nia
dan Ana diam seribu bahasa.
“Apa yang
kalian tertawakan???” Bentaknya sambil berjalan menuju meja kami.
Tiba-tiba aku
merasa mual yang tidak tertahan. Dan
sangat ingin muntah sekarang juga.
“Izin ke WC
pak!” teriakku kepada pak Joni sambil berlari keluar kelas menuju ke WC tanpa
menunggu persetujuannya. Isi perutku seakan ingin keluar dan tak dapat lagi di
tahan, aku membayangi kaca WC ini dengan seribu pertanyaan dalam benakku. Apa
yang terjadi padaku? nalarku.
“Dea!”
Teriakan Nia dan Ana membuyarkan lamunanku.
“Kamu dicariin
pak Joni! Malah kabur ke WC…” Sambung Nia dengan kalimat yang mungkin lebih
panjang tapi hampir semua tak dapat aku dengar, kepalaku seperti sedang
dibentur ke tembok. Aku menjambak rambutku sendiri menahan sakitnya.
Seketika kedua
kakiku terasa lemah, darahku seakan berhenti sejenak, aku menatap sekeliling
dinding di sini, semakin dalam semua bayangan itu seperti menjadi satu.
******
“Non Dea…”
Suara lembut itu menyadarkanku. Bi Wati, tampak dengan wajahnya yang gelisah
menatapku ketika aku terjaga.
“Iya Bi… Kok
aku di rumah?” Sedikit heran dengan apa yang terjadi saat aku tertidur tadi.
“Dea… Kamu
udah sadar?” Suara Nia dan Ana tiba-tiba serentak mendekatiku.
“Kamu pingsan
tadi di WC” Sambung Ana.
Aku masih
dengan setengah sadarku menerka-nerka apa yang terjadi padaku. Dengan badan
yang ‘setengah hidup’ aku mencoba meluruskan badanku. Dimana Adit? Mengapa di
saat seperti ini orang yang seharusnya hadir di sini tak nampak sedikit pun
batang hidungnya. Aku mencoba meraih telepon genggamku, tak ada satu pun pesan
disana.
“Non, Ibu
nelpon…” Kata Bi Wati sambil menyodorkan telepon ke arahku.
“De, kenapa
kamu sayang?” Terdengar suara lembut mama dari kejauhan.
“Gak
kenapa-kenapa kok ma. Mungkin kecapean…” Balasku.
“Ooh, ya udah
sayang, mama gak mau dengar kabar gak enak lagi dari Bi Wati ya. Istirahat yang
cukup, makan yang teratur ya sayang. Mama rapat dulu nanti mama telepon lagi ya
sayang. Love you…” Katanya dengan buru-buru sembari menutup teleponnya dari
kejauhan, ya cukup dengan mempedulikanku lewat telepon saja sudah cukup bagiku.
Hal yang lumayan jarang dilakukan mama dan mungkin juga papa, pikirku. Hanya
tersisa satu orang yang kutunggu walaupun sekedar kabarnya saja cukup bagiku,
Adit. Dimana ia saat aku butuh? Dimana ia saat semua orang mengkhawatirkan
keadaanku?
******
Aku terbangun
dari tidurku, aku merasa mual yang tak tertahan. Aku berlari ke arah kamar
mandi, lemah sekujur tubuhku. Aku meratapi kaca kamar mandiku. Apa yang terjadi
padaku, Tuhan? Bisikku seakan bertanya pada diriku sendiri. Kesekian kalinya!
Baru teringat dalam ingatanku, aku belum datang bulan. Aku seperti berhenti
bernapas dan berpikir sejenak. Aku membasahkan wajahku dengan air, meniauhi
segala bentuk pikiran, entah apapun itu dalam benakku.
Aku segera
berganti pakaian, tidak lucu kalau aku hanya bertanya dan seakan dihantui rasa
penasaran sendiri di sini, aku segera bergegas ke K-24 dengan sejuta doa
pastinya. Semoga tak terjadi apa-apa, teriakku berkali-kali dalam hati.
Be calm Dea,
kamu akan baik-baik saja, batinku menenangkan diriku sendiri. Aku meraih tespek
itu, tanganku gemetaran menunggu hasilnya. Tampak 2 garis merah menegaskan
mataku. Nafasku serasa terengah-engah tak sanggup berkata-kata. ADIT! Aku
berteriak dalam hati, suaraku serasa tak sanggup lagi bersembunyi di balik
bibirku. Aku terduduk di lantai kamar mandi, seakan tak bisa lagi menegakkan
kakiku sendiri, sampai tak sanggup lagi menangis, aku tidak bisa diam di sini
sendiri!
Aku berlari
keluar dari kamar mandi itu dan mencoba mencari telepon genggamku. Dimana?
Shit! Aku meraih telepon genggamku mencoba mencari kontak Adit. Tanganku
seperti kaku, gemetaran tak beraturan.
“Nomor yang
anda tuju sedang tidak aktif atau sedang berada di luar jangkauan.”
Angkat
teleponku Adit! Teriakku pelan. Aku mencoba meneleponnya entah sudah yang ke
berapa kali. Dan tak ada jawaban sama sekali. Kali ini aku benar-benar butuh
kamu disini Adit, bisikku dalam hati. Tiba-tiba terbayang kembali kata-kata
Adit malam itu, dimana semua kata-kata itu? Dimana janjimu untuk di sini apapun
keadaanku?
******
Telepon
genggamku bergetar, aku segera meraihnya dengan berjuta harapan itu telepon
dari Adit. Aku menatap ke telepon genggamku dan
ternyata Ana yang meneleponku.
“Kamu kenapa
gak masuk sekolah de? Masih sakit ya?” Tanya Ana dari kejauhan.
“Na, ada yang
mau aku ceritain ke kalian.” Sambungku tanpa menjawab pertanyaan Ana.
“Ya udah, ntar
kita ke sana ya…” Balasnya sembari menutup teleponnya.
Suara langkah
kaki Ana dan Nia terdengar sedang menaiki tangga menuju ke arah kamarku. Tampak
wajah mereka memasuki kamarku. Aku tampak melirik dari ranjangku ke arah
mereka.
“Kenapa?” Buka
Ana.
Bungkam
balasku. Aku kemudian meraih tasku dan menyodorkan tespek itu ke arah mereka.
Mereka tampak saling melirik dengan tajam dengan tatapan entah apa maksudnya.
“Kamu hamil?”
Tiba-tiba suara parau Nia terdengar seakan tidak percaya.
“Iya” Balasku
singkat.
“Adit?”
Tanyanya dengan penasaran.
“Iya. Tapi
Adit sama sekali gak ada kabar. Aku bingung” sambungku.
Mereka nampak
diam saling bertatapan cukup lama. Tak lama kemudian mereka berdiri dan seperti
ingin bergegas pulang. Aku menatap mereka dengan tatapan seribu heran.
“De, kita
pulang ya. Maaf aku gak bisa bantu kamu.”
Kata Nia tiba-tiba melangkapi keherananku.
“Aku juga.”
Sambung Ana singkat.
Mereka
kemudian berjalan keluar kamarku tanpa menunggu apapun jawaban dariku. Sedikit
berbisik setengah berbicara aku seakan memanggil mereka untuk tetap tinggal dan
tidak meninggalkanku. Tapi banyak yang menjadi pertanyaan, apa itu sahabat? Apa
mereka yang pantas disebut sahabat? Aku seperti menarik kembali suaraku dan
membiarkan mereka pergi. Mungkin aku lebih tenang jika menyelesaikan masalahku
sendiri.
******
“Jalan
Kaliurang KM 10, no. 12 yah pak…” kataku kepada sopir taksi. Aku mencoba
mencari Adit ke kontrakannya, sendiri. Aku menatap sekeliling jalanan panjang
ini sembari berdoa dapat menemukan Adit dan bisa bercerita begitu banyak
lelahku padanya.
Taksi ini
berhenti tepat didepan pintu gerbang kontrakannya, tak seperti biasanya
gerbangnya terbuka seperti ada tamu. Aku bergegas turun dari taksi dan mencoba
memasuki gerbangnya. Tampak dari kejauhan ada sepasang sepatu wanita di depan
pintu. Aku tersentak kaget dan bertanya dalam hati, siapa yang sedang bertamu.
Tiba-tiba
terdengar suara wanita muda dari dalam kontrakannya, tanpa mengetuk terlebih
dahulu aku langsung membuka pintunya yang memang tidak sedang dikunci. Tampak
seorang lelaki dan wanita sedang duduk berdekatan di sofa dekat kamar. Tampak
jelas bahwa itu adalah Adit, aku menahan dadaku yang seakan berpacu dengan cepat
dan mencoba untuk menahan diriku dari segala bentuk pikiran buruk.
“Adit!”
Panggilku mengagetkan mereka berdua yang dengan serentak langsung menoleh
kearahku. Adit menatapku dengan tajam seperti tak merasa bersalah sedikit pun.
“Keluar kamu!”
katanya dengan tegas tepat di depan wajahku. Hampir tak mengenali orang yang
saat ini ada di hadapanku adalah Adit. Aku masih berdiri kaku seakan tak
percaya dengan apa yang terjadi. Sembari genggaman kerasnya di lenganku
memaksaku keluar dari kontrakannya. Jangankan untuk berbicara, bernafas pun
seakan aku tak sanggup. Aku benar-benar
tak percaya lelaki ini adalah Adit.
“Siapa sih
sayang?” Kata wanita itu sembari mendekati aku dan Adit. Sayang??? Ragaku
seakan sedang berada di dalam mimpi. Aku seperti memohon seseorang memukul
kepalaku dan menyadarkan aku bahwa ini hanya semacam mimpi buruk.
“Bukan
siapa-siapa sayang!” Balas Adit sambil mendorongku keluar dan semakin
menyadarkanku bahwa ini bukanlah mimpi. Aku tak sanggup menahan berat tubuhku
sendiri, kakiku terasa begitu lemas, aku menatap wajah Adit tanpa sanggup
berkata-kata sedikit pun dan berharap bahwa ini benar-benar hanya mimpi.
******
Sudah cukup.
Ini bukan mimpi, Dea. Itu Adit! Aku memang mengenal Adit, ini bukan waktu yang
singkat bagi kami untuk harusnya mengerti apa itu tanggung jawab, dua tahun.
Aku berfikir lagi, khilaf itu pasti ada. Mungkin ini saat dimana ia
menghadapinya. Apapun alasannya aku tak bisa hanya dengan menunggunya di sini.
Aku mempertahankan sesuatu yang tidak berdosa di sini, bukan sekedar mencari
tanggung jawab dari kata-kata seseorang!
Tanganku masih
kaku dan tak mampu digerakkan, aku mencari kontak Nia. Yang aku butuh bukan
orang yang dapat membantuku di sini, tapi orang yang kuanggap sahabat untuk
sekedar menjadi teman bicaraku saat ini.
Teleponnya
tersambung, aku menarik nafas lega. Angkat Nia, batinku memohon.
“Nomor yang
anda tuju sedang sibuk, silakan…” Aku langsung mematikan sambungan teleponnya
tanpa mendengar penjelasan sampah operator teleponnya. Aku kemudian mencari
kontak Ana. Mungkin ia yang dapat membantuku di saat seperti ini.
Tidak aktif!
Teriakku sendiri. Aku menarik nafas panjang. Kebingungan. Aku tak mau seperti
orang berdosa yang menanyakan kemana Tuhanku saat ini, aku tertunduk lama dan
hanya memohon untuk Ia menyabarkan aku sampai kapanpun itu.
Aku bergegas
ke rumah orang tua Adit. Adit tinggal di Jogja sendirian dan rumah orang tuanya
berada di Bantul. Aku seperti memikirkan kata-kata apa yang bisa aku katakan kepada
orang tuanya nanti. Akan menjadi suatu cerita yang panjang karena mengenal
orang tuanya pun aku belum pernah. Beribu harap, ini dapat sedikit membantuku.
Aku menatap rumah Adit dari kejauhan, seperti memaksa kakiku sendiri untuk
melangkahkan dirinya masuk ke dalam rumah itu. Aku mengetuk pintu rumah yang
tampak sepi sambil terus berdoa kedua orang tuanya dapat membantuku.
Tiba-tiba
pintu terbuka dan tampak seorang wanita setengah baya keluar dan tersenyum
ramah padaku.
“Selamat
siang, ada yang bisa saya bantu?” Tanya wanita itu dengan ramah.
“Emm.. Saya
ingin bertemu dengan orang tuanya Adit, Bu.” Jawabku.
“Oh, saya
sendiri ibunya Adit.”
Dadaku
berguncang hebat, aku bertanya kembali
niatku sendiri, tapi tidak! Aku menahan kakiku untuk tetap berada di sini. Ingat
Dea, ini usahamu dan mungkin yang terakhir kalinya kau membutuhkan pengakuan
itu.
“Mari nak,
duduk dulu. Ibu buatkan minum.” Suara lembut ibu Adit membuyarkan lamunanku.
“Gak usah
repot-repot, bu. Saya kesini cuma sebentar…” balasku sambil memikirkan
kata-kata selanjutnya.
“Oh iya… Ada
apa ya?” sambungnya.
Jantungku
berpacu dengan cepat, aku bingung! Ayolah dea, bicaralah. Hatiku membujukku.
Tiba-tiba suara motor matic, dan
tak asing bagiku tedengar jelas di telingaku.
“Adit!” Ucapku
kaget sambil tersentak berdiri. Tampaknya ia juga. Ia membuka helmnya dan
dengan wajahnya yang kebingungan seperti menerka-nerka aku ini siapa lalu
menuju ke arahku.
“Adit…”
sambungku lagi. Ibunya terlihat heran dengan apa yang terjadi di rumahnya tanpa
mengeluarkan sepatah kata pun. Sepertinya ia sedang menyimpulkan apa yang
terjadi di sini.
“Ngapain kamu
di sini?” balas Adit dengan nada yang cukup kasar menurutku.
“ADIT!” bentak
ibunya sambil menggenggam tangan Adit seperti ingin menahannya yang hendak
mendaratkan pukulannya ke arahku.
Aku menatapnya
tajam. Ya, inilah dia yang meniduriku dan seakan tak berdosa di atas khilafnya
bertindak seperti tak ada apa-apa. Dia membalas tatapanku, seakan menantangku.
“Aku nggak
peduli kemarin kamu dengan siapa dan aku nggak akan pernah mau nyari tau
tentang itu! Aku ke sini nyari kamu hanya supaya kamu tau, aku mengandung anak
kamu!” kataku dengan parau dan tatapan yang seakan dibanjiri sesuatu, entah
apalah. Aku menampar diriku yang dengan terpaksa harus tampak lemah demi
memohon suatu pengakuan seseorang. Murahan! Teriakku dalam hati. Aku menegakkan
kepalaku, menatap wajah Adit yang seperti terdiam kehabisan kata-kata. Mungkin
dia terkejut atau seakan berpikir rencananya entah apa. Aku tak peduli!
Selesai.
Aku berbalik
dan melangkankah kakiku keluar dari tempat itu dengan sejuta rasa menyesal
bukan kepada siapa-siapa, tapi kepada diriku sendiri yang terlalu dalam dan
terlalu jauh mempercayai seseorang yang selalu benar menurutku, aku kira kita
pendosa dan apa yang salah? Ini cinta! Ternyata salah, bukan kita! Hanya aku
yang berdosa dan kamu hanya mencari bahagia.
“Tunggu!”
teriakan ibu Adit menghentikan sedikit langkahku. Aku berbalik dan menahan
derasnya air mata yang seakan tak mampu lagi ditahan.
“Apa-apaan
ini? Apa yang sebenarnya terjadi?” sambungnya.
“Aku…” belum
sempat dengan sempurna terucap olehku tiba-tiba teriakan Adit menghentikan
seluruh suara yang terbata ingin bercerita dan bahkan darah yang mengalir di
tubuhku pun ikut terhenti olehnya.
“PEMBOHONG!”
katanya.
“Apa yang kamu
cari? Uang? Hah? Kamu mau berapa? Kita udah putus! Nggak usah nyari alasan biar
kita balikan! Murahan!”
“Dengar! Pergi
dari sini dan jangan pernah nyari aku lagi, aku dari keluarga baik-baik!
Keluargaku nggak pernah dengan nggak ada hormatnya mengusir orang dari rumah
kami! Tapi kalo kamu mau, aku bisa melakukannya.” Sambungnya.
Aku menatap
tajam mata Adit yang seakan membidikku tepat di depan ibunya. Aku menoleh
kearah ibunya, dan matanya tampak ingin menamparku dengan segala apa yang
diucapkan Adit yang sepertinya dirasa benar.
“Nggak usah
repot-repot, Dit! Jaga diri kamu baik-baik.” Kataku sambil tersenyum dan
berjalan pulang tanpa peduli dengan siapapun bahkan diriku sendiri dan ‘dia’
yang ada di perutku yang aku perjuangkan hadirnya di sini.
******
1 bulan
berselang, aku masih terdiam menatap banyak hal dari balkon ini. Di sini pula
Adit beucap banyak kata manis untukku. Terpejam sejenak dan merasakan angin
yang memeluk dari sempitnya dunia di mataku, udara yang seakan membunuh seluruh
tubuhku dan Dia yang mungkin lupa akan
kasihNYA menghukumku! Aku salah apa? Bukannya Kau tak pernah memberi cobaan
melebihi batas sabar kepada siapapun? Kenapa aku IYA!? Aku selalu tidak punya
alasan untuk membenciMU! Tapi, jika mereka kau tolong, aku tidak, apa aku masih
tidak pantas membenciMU?!
“Dea!” Suara
Papa menyentakkan batinku. Aku sedikit merasa tenang dan dengan rasa berdosa menarik
segala ketidakpercayaanku pada kasihNYA.
“Mama sama
papa baca pesanmu, kamu kenapa sayang?” Tanya mama dengan halus sambil berusaha
memelukku dengan hangat. Aku menyambutnya tanpa bisa menahan segala tagisanku
di dalam pelukannya.
“Aku mau jujur
satu hal sama mama papa…”
“Aku hamil
dan…”
Tiba-tiba
pelukan mama tak terasa di tubuhku lagi dan sebuah tamparan keras mendarat di
pipiku. Papa menamparku, aku tertunduk. Mungkin berpikir. Ya, ia harus
melakukannya. Aku tetap menggenggam keyakinanku. Mereka mengertiku.
“Siapa yang
menghamili kamu? Papa pikir kamu bisa menjaga kepercayaan papa! Papa ninggalin
kamu dengan begitu banyak harapan papa sama kamu! Tapi apa yang kamu lakukan?
Cuma bisa bikin papa malu!” Aku terdiam mendengar kata-kata papa. Aku menatap
wajah mama yang menahan diri dalam tangisnya, entah apa yang ditangisinya.
Mungkin menyesali hadirku.
“Dasar
perempuan jalang!” terdengar seperti cukup sampai di situ. Itu lebih dari
tamparan dan jambakan yang lebih pantas mendarat ditubuhku daripada harus
mendengar kata-kata yang lebih dari petir bagiku.
“Papa mama
kemana? Kemana selama ini?! Papa mama lebih mentingin semua pekerjaan itu
dibanding aku! Jangankan aku hamil, lihat rambutku sekarang pendek atau
tanganku patah sekalipun mungkin papa dan mama nggak akan tahu! Aku emang
salah! Tapi jangan salahin aku karna mama dan papa juga nggak pernah ada di
sini untuk aku!” Aku menangis meninggalkan mereka.
Langkahku menuntunku
turun dari tangga, entah tujuanku ingin kemana. Intinya keluar dari sini.
Tiba-tiba ketukan pintu mengagetkan aku dan mungkin kami semua di sini. Papa dan
mama segera menuruni tangga, aku menuju pintu dan mencoba membuka pintu itu.
Tersendak
seperti berhenti peredaran darahku. Aku melihat wajah Adit dihadapanku dan
lebih mengejutkanku kedua orang tuanya pun di situ. Aku memastikan ini bukan
mimpi bagiku. Aku berbalik dan menatap papa mama yang mendekati kami.
“Ada apa ini?”
tanya papa menghinangkan kami seketika.
“Kami orang
tua Adit, kami ingin meminta maaf sebelumnya...” kata ayah Adit dan belum
lengkap diselesaikannya dan terhenti ketika papa menyuruh mereka masuk dan
bercerita tujuan kedatangan mereka.
******
‘Adit hanya
belum siap!’ Terngiang-ngiang kata itu seperti membisikku setiap waktu. Apakah
itu hanya dusta atau entah apa. Aku tak peduli! Aku hanya ingin ‘dia’ hadir dan
berhak mendapatkan bahagia seperti yang lainnya. Meskipun aku tidak, tapi ia
berhak. Aku memperjuangkan banyak hal untuknya aku rasa DIA juga takkan
menyia-nyiakannya untukku. Begitu banyak rasa kecewa dan raguku pada kasihNYA. Tapi
banyak yang Ia tebus hari ini untukku. Belum cukup rasa khawatirku yang
membuatnya yakin meninggalkanku. Terima kasih Bapa, gumamku dalam hati.
“Tarik nafas
dalam-dalam…” kata wanita berbaju putih di depanku membuatku berhenti berpikir.
Aku membayangi semua benda putih ini. Tampak jelas Adit sedang mengganggam
tanganku erat. Aku menatapnya tajam.
“Aku nggak
pernah maksa kamu. Aku cuma minta satu hal sama kamu, berdustalah,
berpura-puralah peduli denganku, tapi jangan dengannya.” Kataku sambil
tersenyum pada Adit.
Tangannya
tampak melemah menggenggamku. Ia menatapku tajam, terlihat matanya berkaca
terbayang cahaya. Kembali jemari itu menggenggam dengan kuatnya. Satu kecupan
terasa di keningku.
“Aku sayang
kamu.” Singkatnya sambil tersenyum kearahku. Suara malaikat kecil, malaikat
kecilku menangis dan seakan menyambung teriakanku mendorongnya menatap warna
dunia. Aku sempat melihatnya sejenak, cantik. Mungkin hanya sebentar, dan seketika
segala yang ada di hadapanku menjauh dan mulai menghilang dan akhirnya gelap.
******
Adit menatap
secarik kertas yang ada di antara buku-buku coklat.
‘Kupu-kupu kacaku,
Saat seekor belalang merelakan dirinya
Apa yang ia perjuangkan?
Sesuatu yang lebih indah bukan?
Sesuatu yang mungkin lebih dihargai yang
melihatnya bukan?
Kaca yang mudah rapuh dan hancur
Kepercayaan dan cinta
Seperti itulah ia hilang dan tak ada
harganya
Ketika dihancurkan
Kupu-kupu kacaku,
Terhempas dan tak ada harganya
Ditolak dan tak ada yang percaya
Tapi, jika nanti ketika kau ada
Dengarlah, betapa indahnya kamu bagi setiap
mata
Karena kamu diperjuangkan oleh seseorang
Yang merasa kamu begitu berharga dimatanya’
Adit
menggenggam erat kertas itu dan menatapnya dengan tetesan airmata yang
tampaknya tak mampu lagi tertahan olehnya. Ia memeluk malaikat kecilku, Renata.
Menatap berkaca ke arahku, kearah bingkai fotoku. Terlambat. Kini yang tersisa
hanya beberapa kata, rasa, dan balasnya yang belum sempat terucap. Banyak usaha
dan pengorbananku yang dipikirNYA akan terbayar dengan sebuah cerita. Aku yang
selalu bertanya akan KasihNYA, dan mergukanNYA, ternyata benar Ia takkan pernah
memberi cobaan melebihi batas kemampuanku, jika tidak maka ia akan memintaku
berhenti. Kataku, menatap mereka dan tersenyum dari kejauhan, sangat jauh dari
ragaku.